Pasien Rawat Inap dari Ekonomi Rendah Diprediksi Naik 71 Persen

0
111

Pertama.id – Studi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI memprediksi ada potensi kenaikan pasien rawat inap dari masyarakat berstatus ekonomi rendah hingga 71 persen pada 2022.

Mereka pun akan mengakses Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Padahal, berdasarkan studi tersebut rawat inap dari golongan ekonomi rendah hanya diakses 35 persen pada 2014.

Sanofi Indonesia menyebut JKN memberikan harapan baru bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan standar kesehatan dasar.

Namun, Country Safety Head Sanofi Indonesia dr. Ratna Indah Widyasari mengatakan aspek keselamatan pasien masih menjadi kendala dan membebani sistem kesehatan universal di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Menurut WHO, aspek keselamatan pasien masih menjadi kasus yang mengkhawatirkan dan paling tidak menyebabkan kematian hingga 2,6 juta jiwa di negara berpendapatan rendah dan menengah.

Selain itu, dalam konteks Indonesia, cedera pasien berpotensi dapat membebani anggaran kesehatan di Indonesia, karena menyebabkan pasien dirawat lebih lama daripada yang seharusnya.

Klasifikasi WHO menyebutkan ada sembilan situasi keselamatan yang paling mengkhawatirkan, antara lain kesalahan pengobatan, infeksi terkait perawatan, prosedur bedah tidak aman, penyuntikan tidak aman, kesalahan diagnostik, transfusi tidak aman, radiasi, sepsis, dan Tromboemboli vena (TEV) atau pembekuan darah.

WHO memperkirakan TEV berkontribusi pada sepertiga dari komplikasi yang dikaitkan dengan rawat inap.

TEV atau venous thromboembolism merupakan kondisi medis yang menyebabkan pembentukan gumpalan darah yang diakibatkan oleh minimnya aktivitas fisik, riwayat operasi, atau penyakit seperti diabetes, kanker, hingga stroke.

TEV adalah salah satu penyebab cedera dan kematian pasien yang dapat dicegah, namun kadang tidak terdiagnosis.

Sanofi Indonesia selaku perusahaan farmasi berkomitmen untuk memastikan penyediaan obat-obatan yang aman sehingga dapat menjamin keselamatan pasien, salah satunya pasien dengan indikasi TEV

“Sanofi melakukan aktivtas farmakovigilans (pemantauuan keamanan obat) dari tahap pengembangan hingga dipasarkan,” kata dr Ratna.

Sanofi pun terus berupaya mengumpulkan dan menganalisis data untuk dapat menentukan tindakan manajemen risiko yang tepat sehingga pasien mendapatkan manfaat yang lebih besar.

“Kami mendukung BPOM agar semua pihak menyadari akan pentingnya pelaporan KTD (Kejadian Tidak Diinginkan) sehingga kami dapat terus melakukan evaluasi terhadap keamanan produk kami,” beber dr. Ratna.

Ketua Umum Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHDTI) Dr. dr. Tubagus Djumhana Atmakusuma, Sp.PD-KHOM menekankan pentingnya peran tenaga kesehatan (nakes) dalam pencegahan TEV.

Sebab, kejadian tromboemboli vena secara angka masih cukup tinggi di Indonesia. Pengetahuan tenaga dan keluarga pasien menjadi faktor utama untuk mengindentifikasi keadaan ini.

Salah satu solusi yang efektif adalah memastikan tenaga kesehatan untuk mengikuti protokol sehingga dapat melakukan pencegahan kejadian TEV.

“Hal ini dapat dilakukan dengan baik jika setiap profesi kesehatan dapat membuat sistem yang terintegrasi dan membangun budaya keselamatan pasien atau patient safety di tempat praktik,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dokter yang akrab disapa dengan panggilan Dr. Djumhana ini menekankan implementasi protokol pencegahan TEV ini cukup mudah.

Pencegahan TEV dapat dilakukan selama rawat inap dengan aktif bergerak, selalu terhidrasi, dan memastikan nakes mengetahui jika pasien atau keluarga dekat memiliki riwayat penggumpalan darah.

Sumber : JPNN

LEAVE A REPLY