Baiq Nuril, Arsyad, Zakki Amali, Giliran Siapa Lagi?

0
526

Pertama.id-Kasus yang menimpa Baiq Nuril Maknum sebetulnya hanya contoh kecil berbahayanya beberapa norma di UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Sebab, pasal 27 dan 28 yang bersifat karet, rupanya sudah memakan banyak korban sejak diundangkan tahun 2008 lalu.

Berdasarkan data SAFEnet, hingga Juni 2018, 245 pengaduan dengan dalih UU ITE telah dilakukan. Pengaduanya, rata-rata didominasi oleh pemegang kekuasaan, pengusaha, hingga aparat negara.

Sementara terlapornya beragam. Mulai dari aktivis yang banyak bersuara, hingga anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.

Belakangan, pelapor Kaesang dilaporkan balik. Dengan pasal itu juga. Pasal pencemaran nama baik, memang jadi cara mudah mempolisikan seseorang. Dengan dampak yang tidak sederhana.

Muhammad Arsyad, salah seorang korban yang merasakan betul sulitnya hidup terjerat UU ITE. Sejak di kasuskan akhir 2013 lalu, dia baru bisa bernapas lega pekan lalu. Saat putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) menyatakan dirinya tidak bersalah. Sebelumnya, lima tahun hidupnya penuh kerisauan.

Meski bebas, dia mengaku rugi lahir batin. Kuliahnya sempat kacau, dan statusnya yang tidak jelas membuatnya sulit mengakses pekerjaan formal. ”Selama berapa tahun gak bisa akses kerjaan karena status tergantung. Saya tidak bisa mendapat surat bebas pidana karena sedang proses hukum,” ujarnya kepada Jawa Pos, Sabtu (17/11).

Di sisi lain, trauma psikologis juga cukup berat. Baik yang dialami dirinya, maupun keluarganya. Dia misalnya, meski tidak takut, tapi kini jadi sedikit segan untuk berekspresi di sosial media. Sementara keluarga, memintanya untuk tinggal di luar kota. Takut kasusnya diutak-atik lagi.

Kasus yang menjerat Arsyad cukup mengenaskan. Itu bermula saat dirinya dikeroyok puluhan orang usai berbicara di sebuah stasiun TV lokal di Makassar. Saat menjalani proses pengobatan di rumah sakit itu lah, dia membuat status di aplikasi BBM. Bunyinya “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!”. Kelompok yang diduga ada dibalik aksi pengeroyokan.

Pada kesempatan yang sama, dia juga melaporkan kasus pengeroyokan yang dialaminya. Namun siapa sangka, dia justru dipanggil Polda Sulawesi Selatan sebagai terlapor kasus lain. Rupanya, status BBM tersebut dilaporkan. “Dalam prosesnya oknum polisi meminta barter perkara. Saling cabut laporan. Saya gak mau,” kata dia.

Setelahnya, dia pun mulai menjalani tahanan Polda. Sempat ditangguhkan, Arsyad kembali ditahan enam bulan kemudian. Pasca berkasnya masuk ke kejaksaan. Total, 100 hari dia menjalani kurungan sambil menjalani proses persidangan tingkat pertama.

Beruntung, Pengadilan Negeri Makassar menyatakan putusan bebas. Sebab, sejumlah saksi yang dibawa ke persidangan tidak berteman dengan akun Arsyad. Sehingga dinyatakan kurang bukti di persidangan. Namun, nasibnya kembali abu-abu usai jaksa mengajukan kasasi beberapa waktu kemudian.

“Ternyata itu orang dapat penahanan. 103 hari di tahan tanpa alat bukti,” tuturnya kesal.

Arsyad menambahkan, menghadapi persidangan jeratan UU ITE sangat berat. Sebab, kategorinya bukan pidana langsung. Untuk memperkuat pembelaan, pihaknya harus menyiapkan beberapa saksi ahli. Sementara lawan yang dihadapi memiliki modal kuat. Beruntung, dia mendapat bantuan dari ICW, ICJR, dan puluhan lawyer secara gratis.

Pengalaman yang sama juga dirasakan Zakki Amali, jurnalis serat.id. Dalam beberapa bulan belakangan, dia terpaksa berurusan dengan Polda Jawa Tengah. Kerja jurnalistik yang dipublikasi di media online, dinilai sebagai pencemaran nama baik melalui perangkat elektronik. Dia jerat UU ITE.

Hingga saat ini, Zakki masih bingung dengan jeratan pasal tersebut. Liputannya tantang dugaan plagiasi yang dilakukan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) telah menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik. Data dan konfirmasi juga sudah dipenuhi.

“Dari sisi jurnalistik tidak ada persoalan. Hanya saja dia sedang mengikuti proses pemilihan Rektor. Saya dijustifikasi punya kepentingan dalam pemilihan rektor,” tuturnya.

Zakki menambahkan, mempersoalkan kerja jurnalistik dengan tuntutan pidana bukanlah hal yang tepat. Selain bertentangan dengan kebebasan yang dijamin konstitusi, hal itu juga melanggar kesepakatan yang dibuat dewan pers berdasa kepolisian dan kejaksaan. Atas dasar itu, pria kelahiran Kudus itu memilih mangkir setiap ada panggilan.

Namun secara pribadi, dia mengakui, meski belum ditetapkan sebagai tersangka, apa yang dialaminya cukup merisaukan. Panggilan demi panggilan yang diterimanya, menjadi teror sendiri bagi psikologisnya. “Saya tidak memungkiri, bikin kepikiran. Kita gak punya salah tiba-tiba berurusan dengan polisi,” ujarnya.

Tak ingin orang tuanya panik, Zakki memilih untuk menyembunyikan kasusnya. Hanya beberapa gelintir kerabat, yang dianggap bisa memahami, yang dia kabari. Kini, Zakki jadi merasakan, betapa berbahayanya pasal karet UU ITE. Dia merasakan sakitnya menjadi korban kriminalisasi.

Beruntung, dia punya banyak kawan seprofesi yang membantunya. Dukungan LBH Semarang dan PBHI Jawa Tengah juga cukup deras. Setidaknya bisa menambal kebutuhan menghadirkan saksi ahli yang dirasa berat buatnya.

Di Surabaya, korban UU ITE juga menimpa Anindya Joediono, mahasiswi Universitas Narotama. Dia dijerat usai membuat status di akun facebook tentang pelecehan seksual yang dialaminya saat razia yang digelar satpol PP di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya.

Nindy bermaksud menjelaskan kronologi di tengah simpang siurnya informasi. “Saya menyuarakan apa yang dialami, agar publik tahu,” ujarnya.

Namun, bukannya pertolongan yang di dapat. Nindy justru berurusan dengan hukum setelah dilaporkan Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS), Pieter F Rumaseb. Uniknya, palapor adalah sosok yang tidak dikenal dan tidak disebut dalam statusnya.

Namun, laporan yang dinilainya tidak jelas justru lebih cepat diproses. Di bandingkan laporan pelecehan seksual yang juga dilaporkannya. Kini, dia harus memenuhi panggilan sebagai terlapor. “Saya masih kuliah, harus dipanggil polisi kuliah saya terganggu. Dampak psikologis pasti juga ada,” ungkapnya.

Nindy menuturkan, pasal karet UU ITE memang dibuat untuk mewadahi aparat, pemangku kekuasaan, dan pemilik modal dalam menikam lawannya. Terbukti, berdasarkan kajian SAFEnet, lanjutnya, pasal tersebut kerap jadi alat barter atau pembungkaman.

“Saya awalnya juga takut. Tapi saya ga mau kalah. Karena itu yang diinginkan pelapor saya,” imbuhnya.

Kini, nasibnya ada di LBH Surabaya. Pihak yang menjadi kuasa hukum atas kasus yang menimpanya. Diakuinya, bukan perkara mudah menghadapi kasus ini. Selain mahal dari aspek psikologis dan meteri, Nindy mengaku akan menghadapinya.

Meski dia menyadarinya, relasi kuasa antara palapor dan terlapor sangat timpang. “Dia punya uang, saya hanya mahasiswa,” pungkasnya. (far)

 

LEAVE A REPLY