Penegak Hukum jangan Lupa Miskinkan Koruptor lewat TPPU

0
417

Pertama.id-Sistem penegakkan hukum di Indonesia belum mampu memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi.

Walaupun sudah divonis penjara, hampir sebagian besar narapidana korupsi bahkan mampu membeli fasilitas di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Direktur Eksekutif Study Club For Rar Againts Corruprion, Rich Ilman Bimantika menjelaskan aparat penegak hukum baik dari KPK serta Kemenkumham harusnya tegas terhadap perlakuan istimewa yang diterima para pelaku koruptor seperti Setya Novanto.

“Apa yang terjadi di Lapas Sukamiskin sudah menjadi potret buram dan membuktikan hukum belum bisa berdiri tegak,” katanya.

Tak hanya itu Ilman juga mengatakan bahwa KPK dan Kemenkumham harus lebih mampu menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada tersangka korupsi.

Tujuannya, agar negara bisa menyita seluruh aset yang dimiliki narapidana korupsi.

“Beberapa kasus, penyitaan terhadap hasil tindak pidana korupsi itu lambat. Ada yang satu tahun sesudah berjalan masa hukuman, baru bisa diambil. Padahal, aset narapidana harus bisa segera diambil untuk mencegah masalah-masalah selanjutnya,” paparnya.

Menurutnya, upaya penyitaan aset koruptor akan membuat para narapidana kasus korupsi tidak bisa berbuat banyak. Termasuk upaya untuk membeli berbagai fasilitas di dalam lapas, seperti yang selama ini terjadi.

Namun demikian, diakui, masih ada banyak hambatan yang ditemui penegak hukum ketika menerapkan pasal TPPU. Selain pembuktian yang sulit, aset narapidana yang diambil negara juga terkesan sangat lambat.

Dia mencontohkan bagaimana seorang narapidana kasus korupsi masih bisa membeli fasilitas yang ada di dalam lapas.

Dalam inspeksi mendadak Ombudsman, mantan Ketua DPR Setya Novanto masih menghuni sel mewah.

“Pergantian mencopot Kalapas ternyata tidak berdampak signifikan, apalagi terus membludaknya tahanan narapidana korupsi” ucapnya.

Sementara itu pengamat politik, Karyono Wibowo mengatakan ada banyak penyebab masih maraknya kasus korupsi di kalangan pejabat negara.

Di antaranya adalah faktor moral, tingginya biaya politik dan kebiasaan atau budaya masyarakat.

“Kalau hanya mengandalkan sistem penindakan, ujungnya malah korupsi lagi. Yang menjadi hulunya adalah pertama soal masalah moral para penyelenggara negara,” kata Karyono.

Menurutnya, antara political cost atau biaya politik memiliki korelasi atau sangat berhubungan dengan tingginya angka korupsi di Indonesia.

Banyak pejabat negara, terutama yang berlatarbelakang tokoh politik terjerat kasus korupsi.

“Mulai dari calon kepala daerah, calon legislatif butuh biaya politik untuk lolos. Bahkan, untuk menjadi ketua umum partai juga menghabiskan banyak biaya politik,” ucapnya. (flo/jpnn)

LEAVE A REPLY